Utang, Mensejahterakan atau Menyengsarakan?? (1)

Reputasi Indonesia sebagai salah satu Negara penghutang sudah bukan berita baru lagi, dibawah rezim Soeharto yang dijuluki The Smiling General oleh para tokoh Negara luar, utang dalam dan luar negri Indonesia membumbung melebihi 1000 Trilyun rupiah. Bahkan dibawah pemerintahan yang sekarang utang kita mengalami peningkatan rata-rata pertahun paling drastis sepanjang sejarah. Dibawah kinerja tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu yaitu sampai januari dari tahun 2005-2009 utang Negara kita telah mengalami pertambahan 392 Trilyun dari 1275 Trilyun menjadi 1667 Trilyun rupiah [sumber]. Yang berarti per tahunnya pertambahan utang kita nyaris mencapai 100 Trilyun rupiah.


Sebenarnya pembiayaan melalui utang (debt financing) merupakan hal yang lumrah untuk dilakukan baik oleh perusahaan ataupun Negara dalam rangka menambah profit atau produktivitasnya. Dalam hal utang yang dilakukan oleh Negara, utang dibutuhkan karena pemerintah menerapkan kebijakan anggaran deficit (budget deficit), sehingga dibutuhkan utang untuk menutupi deficit tersebut.

Tentu pertanyaan berikutnya yang muncul adalah mengapa pemerintah menerapkan anggaran deficit? Mengapa pemerintah melakukan pengeluaran yang sedemikian besar sampai melampaui pendapatannya?? Apa tujuannya?

Jawabannya dari pertanyaan di atas sebenarnya cukup sederhana. Terjadinya deficit dalam anggaran pemerintah yang disebabkan adanya peningkatan pada pengeluaran pemerintah tidak lain disebabkan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian Negara tersebut.


Teori

Dalam ilmu ekonomi makro GDP yang merupakan salah satu ukuran tingkat perekonomian suatu Negara, salah satunya dirumuskan sebagai penjumlahan dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan selisih ekspor dengan impor, yang kalau kita tulis persamaannya adalah:

GDP = C+I+G+(X-M)

C= Consumption; I= Infestation; G= Government expenditure

X= Export M= Import


Dan diyakini pengeluaran pemerintah (G) memiliki koefisien yang lebih besar dari satu, sehingga apabila kemudian G naik sebesar χ, maka kenaikan GDP seharusnya akan lebih besar dari χ. Hal ini karena pertambahan pada G akan memiliki efek yang luas.


Misalkan saja pemerintah menambah pengeluaran untuk membuat proyek jalan tol sebesar 1 trilyun, lalu uang itu akan digunakan oleh perusahaan kontraktor untuk membeli berbagai keperluan, diantaranya memberi upah pada para pekerjanya. Lalu uang yang diterima oleh para pekerja ini tentu akan digunaan untuk konsumsi (C), lalu apabila ada sisa, kemudian para pekerja ini akan menabung uangnya di bank, yang kemmudian akan disalurkan lagi untuk investasi ( I ) bagi mereka yang membutuhkan modal. Sehingga peningkatan GDP jelas akan lebih besar dari sekedar penambahan pengeluaran pemerintah. Dan diharapkan peningkatan pengeluaran pemerintah itu dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Negara tersebut sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.


Begitulah teorinya, sehingga tidak heran kemudian kebijakan anggaran deficit dan utang banyak di terapkan oleh banyak Negara. Namun lagi-lagi masalahnya adalah seringkali tidak sejalannya antara teori dan praktek. Teori di atas hanya bisa tercapai jika pemerintah dapat mengelola utang luar negeri diatas dengan baik. Dan setidak-tidaknya ada dua kondisi yang harus terpenuhi agar kemudian pemerintah dapat mengolah utang Negara dengan baik yaitu secara efektif dan efisien.


(I) Kondisi pertama adalah Pemerintah yang ada merupakan pemerintah yang bersih, berkompeten dan tidak ada benturan-benturan kepentingan didalamnya. Apabila satu saja dari tiga hal di atas tidak terpenuhi, hampir bisa dipastikan bahwa pemerintah tersebut bukanlah pemerintah yang bisa mengelola utang dengan baik. Jelas pemerintah yang korup tidak akan bisa mengelola utang dengan baik, alih-alih mengelola utang demi kepentingan rakyat, yang ada malah dana utang itu dikorup demi kepentingan pribadi.


Begitu juga sebaliknya, walaupun pemerintahnya bersih dantidak ada benturan kepentingan apapun di dalamnya namun jika tidak memiliki kompetensi yang memadai, tentu pemerintah itu akan kebingungan dan tidak akan bisa me-manage utang senilai ratusan bahkan ribuan trilyun dalam rangka memajukan bangsa.


Sama juga halnya pemerintah yang berkompeten dan bersih, jika tidak ada kesamaan pandangan dan adanya benturan epentingan, maka pemerintah itu tidak akan bisa mengelola utang tersebut, karena akan selalu ada perbedaan pendapat dan rasa tidak mau mengalah dalam merumuskan penggunaan dana utang tersebut.


(II) Sedangkan kondisi kedua adalah, kreditur atau si pemberi utang tidak menyelipkan kepentingan apapun dalam pemberian utang itu serta memberi keleluasaan pada pemerintah Negara debitur dalam mengelola utang tersebut. Apabila hal ini tidak terpenuhi, maka yang akan terjadi adalah sebuah bentuk kolonialisme baru dalam bentuk penjajahan ekonomi sebagaimana yang selama ini dilakukan Negara-Negara barat, terutama Amerika terhadap Negara berkembang seperti diungkapkan John Perkins dalam bukunya “Confession of an Economic Hit Man” [LINK]


Apabila 2 kondisi tersebut telah tercapai, barulah mungkin teori yang telah diuraikan diatas dimana peningkatan pengeluaran pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi jauh lebih tinggi ketimbang peningkatan pemerintah itu sendiri dapat tercapai. Namun apabila tidak, jangan berharap banyak dari utang tersebut, alih-alih makmur, malah kita akan menjadi bangsa yang memiliki bargaining position yang lemah di dunia internasional terutama di mata para Negara kreditur kita.

Leave a comment